Al-Munawwaroh

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

POLEMIK ARAH KIBLAT YANG TIDAK TEPAT

Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal

Permasalahan ini masih menjadi polemik di tengah-tengah kaum muslimin sampai saat ini. Ada yang berusaha mencari arah kiblat yang harus persis menghadap ke Ka’bah, harus bergeser sedikit ke utara. Ada pula yang berpendapat cukup menghadap arahnya saja yaitu arah barat dan shalatnya tetap sah.
Semoga penjelasan kali ini dapat memberikan sedikit titik terang dari polemik yang ada. Semoga bermanfaat.

Menghadap Kiblat merupakan syarat sah shalat.
Syarat sah shalat yang harus dilakukan sebelum melaksanakannya di antaranya adalah menghadap kiblat. (Lihat At Tadzhib fi Adillati Matnil Ghoyat wa At Taqrib – Matni Abi Syuja’, hal.52, Darul Fikri dan Al Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitab Al ‘Aziz, hal.82, Dar Ibnu Rojab)

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada orang jelek shalat (musi’ salatahu),
“Jika engkau hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu lalu menghadaplah ke kiblat, kemudian bertakbirlah.” (HR. Bukhari no.6251 dan Muslim no.912)

An Nawawi dalam Syarh Muslim mengatakan, “Hadits ini terdapat faedah yang sangat banyak dan dari hadits ini diketahui pertama kali tentang hal-hal tadi adalah wajib shalat dan bukanlah sunnah.”Beliau juga mengatakan, “Dalam hadits ini meunjukkan tentang wajibnya thoharoh (bersuci), menghadap kiblat, takbirotul ihrom dan membaca Al Fatihah.”(Lihat Syarg An Nawawi’ala Muslim, 2/132)

Yang mendapat Udzur (Keringanan) Tidak Menghadap Kiblat
Dalam matan Al Ghoyat wat Taqrib (kitab Fiqih Syafi’iyyah), Abu Syuja’rahimhullah mengatakan, “Ada dua keadaan sesorang boleh tidak mengadap kiblat : (1) Ketika keadaan sangat takut dan dan (2) ketika shalat sunnah di atas kendaraan ketika safat”
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS.Al Baqarah (2):239). Yaitu jika sesorang tidak mampu shalat dengan sempurna karena takut dan semacamnya, maka shalatlah dengan cara yang mudah bagi kalian, bisa dengan berjalan atau dengan menaiki kendaraan.

Ibnu Umar mengatakan
“Apabila rasa takut lebih dari ini, maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan dengan menghadap kiblat atau pun tidak.”

Cara Menghadap Kiblat Ketika Melihat Ka’bah Secara Langsung
Para ulama sepakat bahwaa siapa saja yang mampu melihat ka’bah secara langsung, wajib baginya menghadap persis ke Ka’bah dan tidak boleh dia berijtihad untuk mengahdap kearah lain.

Ibnu Qudamah Al Maqdisiy dalam Al Mughni mengatakan, “Jika seseorang langsung melihat ka’bah, wajib baginya menghadap langsung ke ka’bah. Kami tidak mengetahui adanya perselisihan mengenai hal ini. Ibnu ‘Aqil mengatakan, Jika melenceng sebagian dari yang namanya Ka’bah, shalatnya tidak sah.”(ihat Al Mughni, 2/272)

Lalu Bagaimanakah Jika Kita Tidak Melihat Ka’bah Secara Langsung?

Jika melihat Ka’bah secara langsung, para ulama sepakat untuk menghadap persis ke ka’bah dan tidak boleh melenceng. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak melihat ka’bah seperti kaum muslimin yang berada di India, Malaysia, dan di negeri kita sendiri (Indonesia)?

Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah dikatakan bahwa para ulama berselisih pendapat bagi orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung karen atempat yang jauh dari ka’bah. Yang mereka perselisihkan adalah apakah orang yang tidak melihat ka’bah secara langsung wajib baginya menghadap langsung ke ka’bah ataukah mengadahap ke arahnya saja.(Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyah, 2/11816)
Pendapat ulama Hanafiyah, pendapat yang tekuat pada madzhab Malikiyah dan Hanabilah, juga hal ini adlaah pendapat Imam Asy syafi’i (sebagaimana dinukil dari Al Muzanniy), mereka mengatakan bahwa bagi orang yang berada jauh dari Makkah, cukup baginya menghadap ke arah ka’bah (tidak mesti persis), jadi cukup menurut persangkaan kuatnya di situ arah kiblat, maka dia menghadap ke arah tersebut (dan tidak mesti persis).

Dalil dari pendapat pertama ini adalah
“Dan di mana sjaa kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS.Al Baqarah:144). Menurut pendapat ini, mereka menafsirkan “syatro” dalam ayat tersebut dengan arah yaitu arah ka’bah. Jadi bukan yang dimaksud persis menghadap ke ka’bah naum cukup menghadap arahnya.

Para Ulama tersebut juga berdalil dalam hadits,
“Arah antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR.Ibnu Majah dan Timidzi. Timidzi mengatakan hadits ini shohih. Dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholi dan Misykatul Mashobih bahwa hadits ini shohih). Jadi maksudnya, bagi siapa saja yang taidak melihat ka’bah secara langsung maka dia cukup menghadap ke arahnya saja dan kalau Indonesia berarti antar utara dan selatan adalah kiblat. Jadi cukup dia menghadap ke arahnya saja (yaitu cukup k barat) dan tidak mengapa melenceng atau tidak persis ke arah ka’bah.
sedangkan pendapat lainnya mengatakan bahwa yang diwajibkan adalah menghadap ke arah ka’bah persis dan tidak cukup menghadap ke arahnya saja. Jadi kalau arah ka’bah miusalnya adalah di arah barat dan bergeser 10 derajat ke utara, maka kita harus menghadap ke arah tersebut. Inilah pendapat yang dipilih oleh syafi’iyah, Ibnul Qashshor dari Malikiyahm salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat Abul Khottob dari Hanabilah.

Shalat Jama’ah

1. Arti Shalat Jamaah

Shalat berjama’ah yaitu shalat yang dikerjakan bersama-sama,     sekurang-kurangnya terdiri dari 2 orang, yaitu imam dan makmum. Hukumnya sunat muakkad, dan cara mengerjakannya ialah imam berdiri di depan dan makmum dibelakangnya dan harus mengikuti perbuatan imam.

2. Posisi makmum dalam shalat berjamaah

Dalam shalat berjama’ah posisi makmum adalah:

  • Bila makmumnya hanya seorang diri, posisinya disebelah kanan imam dan agak mundur sedikit untuk membedakan posisinya dengan imam. Jika ada makmum lain yang datang kemudian maka ia mengambil tempat di sebelah kiri imam. Setelah takbir, imam maju ke depan, atau kedua makmum itu mundur kebelakang dengan gerakan ringan.
  • Jika makmum yang terdiri dari beberapa shaf laki-laki dewasa, anak-anak dan wanita, posisi shaf laki-laki dewasa berada dibelakang imam, kemudian anak-anak berada di belakang laki-laki dewasa, dan wanita posisi paling belakang.

3. Syarat-syarat mengikuti imam

  • Makmum menyengaja berniat mengikuti imamMakmum jangan berada di depan imam
  • Jarak antara imam dan makmum atau makmum dengan baris makmum yang terakhir  tidak lebih dari 300 hasta (kurang lebih 144m) yang dimulai dari akhir mesjid.
  • Shalat makmum harus sama dengan shalat imam, misalnya sama-sama Maghrib, isya, jama dan sebagainya.
  • Makmum mengetahui segala yang dilakukan imam
  • Antara makmum dan imam jagnan ada dinding yyyyyyyyyang menghalangi, kecuali bagi perempuan di mesjid hendaklah didindingi dengan kain, asal ada sebagian atau salah seorang mengetahui gerak-gerik imam atau makmum yang dapat diikuti
  • Makmum jangan mendahului imam dalam takbir, dan jangan mendahului atau melambatkan diri.

Kupas Tuntas Ibadah-Ibadah Diperselisihkan

Kupas Tuntas Ibadah-Ibadah Diperselisihkan

Buku Asli :

Al-Bayan Al-Qawim li Tashhih Ba’dhi Al-Mafahim

Penulis :

Syeikh Ali Jum’ah

Mufti Mesir

Muharram 1431 H

DKM AL-MUNAWWAROH PERUMAHAN WAHANA HARAPAN BEKASI

Baca lebih lanjut